"Waktu Ujian telah selesai, seluruh peserta ujian diperkenankan meninggalkan ruang ujian." dan hanya butuh satu kalimat itu duniaku serasa bebas. Bebas sekali. sampai hai ini terasa bagaimana gitu. Setelah mendapat beberapa pengarahan dari guru. Aku mulai menjalankan rencana kejiku. Hahaha.
"Jadi lo?" aku mewanti-wanti mas Dwi.
"Kapan se?"
"Sabtu ini." sebenernya agak kurang ajar juga maksa orang buat ikut. Apalagi yang satu ini udah sepuh. (heheheehe).
"Oalah. Iyalah. gampang."
Satu orang sudah masuk. Tinggal merayu beberapa orang lagi dan rencanaku akan terwujud. Anak-anak kelas XI gampang sekali diajak. Tinggal Pitria dan beberapa orang tua. "Pit, jadi ya?"
"Gak tahu, Jeng. Sabtu iki bancaan e bapakku."
"Loh terus?"
"Aku gak tahu."
"Bah dikau kudu ikut."
"Yo."
3 hari kemudian. Tepatnya hari Sabtu tanggal 18 April 2014 jam 4 sore di rumah Yussaq (seharusnya jam setengah 3) kami kumpul. Sebenarnya rencanaku ini nggak keji-keji amat kok.Hanya mendaki gunung paling imut sedunia tapi juga yang paling bikin aku apa ya? susah lah dijelaskan. Pokonya rencana ini serba mendadak karena setelah UN aku nggak mau mikirin apapun selain ini. sudah setahun hilang dari peredaran rasanya seperti selamanya.
Jam Karet di Indonesia sepertinya tidak hanya ditentukan oleh faktor manusia tapi juga alam. Jam 3 waktu dimana kami harus segera berangkat malah hujan turun dengan derasnya seolah bilang "kate lapo koen lek aku onok" aduh kokoro (baca:hati) sudah lelah dipermainkan oleh hujan.
Oke, akhirnya hujan reda. Berangkat!!!!!
Tapi kami tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Tiba-tiba saja di tengah perjalanan lewat claket yang gelap jalannya nikung sana nikung sini nanjak sana nanjak sini dan bikin mau mabuk darat hujan turun dengan riang gembira. Arghh. Jas hujanku ketinggalan, baju gantiku juga ketinggalan. Apa nanti naik harus dengan baju basah gini?
Sebagai yang paling sepuh, mas Dwi menyarankan untuk pakai jas hujan dan langsung ke balai desa depan Mak Ti.. Hore.. Rasanya baru kemarin aku ke Mak Ti makan pecel sama es teh. Haaa.. Nggak ada tempat makan di dunia ini selain di Mak Ti yang bisa bikin kangen dan wajib dikunjungi.
Rencana awal berangkat sore biar bisa agak lama dan lihat sunset. Akhirnya batal dankami berangkat jam 8 malam. Aku benci kalau jalan malam hari. Dan yang lebih mengesalkan jalannya licin setengah hidup. pasti nanti pulangnya ada pertempuran dengan deterjen.
Pitria bilang kalau teman dekatnya di dunia maya juga ikut ke Penanggungan hari ini namanya mbak Rara . Katanya sih udah duluan naik ya udah kami juga langsung capcus. Meskipun sekarang ada parkir dan bayar 5000+tiket6000. totalnya 11.000. Oh Tuhan, dulu sekali, perasaan aku kalau ke penanggungan hampir gratis. Sekarang kok mahal ya? Apa inflasi juga menyebar ke gunung-gunung? (Efek pelajar IPS yang depresi).
Jalannya menanjak, berlumpur, licin, berbatu, dan bercacing. Komplit jadi satu. Celana Training kerudung ku. waaaa... penuh lumpur. Tapi ya ini menyenangkan sih.Si Dini jalannya cepet banget. Nggak tahu ya kalau kakak-kakak ini badannya nggak pernah latihan? Jadinya jalan cantik pelan-pelan. Tapi aku nggak berhenti kalau nggak bener-bener capeknya naudzubilah. Mulut ini rasanya kering tapi aku males minum. Kaki ini udah pegel. Pitria masih jauh di belakang sama Om Horizon dan mas Dwi. Okelah aku berhenti karena di depan ada segerombol orang yang juga berhenti.
"Ra.. cepetan dong. ada yang mau lewat ini."
"Bentar." otakku bekerja dengan cepat dan tidak tahu malu.
"Mbak Rara?" teriakku ke mereka.
"Ra, ada yang nyariin lho"
"Pitria kah?"
"Aku Ajeng mbak. Temannya Pitria."
"Pitrianya mana?"
"Pit! Mbak Rara!"
"Endi , Jeng?"
"Nang ngarepku pas." Tak berapa lama Pitria datang dengan tergopoh-gopoh. Dan mereka ngobrol ngalor ngidul. Aku nggak tahu apa yang mereka bicarakan yang pasti itu nambah semangatnya Pitria.
Ada hal penting dan krusial yang terlupakan. Kami nggak bawa kompor. Aku ulang. Kami nggak bawa kompor.
"Danang, kita nggak bawa kompor tapi bawa butana banyak ya?"
Semua terdiam. Semua terpaku. Kami cerdas. Kami lupa ambil kompor yang di mas Fahmi.Kami pikir nanti ada Kak Ros bawa trangia. Tapi, di kota hujan deras. nggak ada orang mau pergi pas hujan deras.kami nggak antisipasi dengan pinjem punya mas War.
Ringtone Flying Get AKB48 tiba-tiba bernyayi dengan keras. Nomer tidak dikenal.
"Halo?"
"Jeng? Halo?"
"Mbah Ros ?"
"Yo. Awakmu nang di?"
"Otw puncak bayangan"
"Aku nang pos."
"Nggowo trangia?"
"Yo iki tak gawakno."
"Alhamdulillah ya allah. Kak Ros. kami cinta padamu." telepon ditutup mata orang-orang sepertinya sangat berharap ada kabar baik.
"Lapo Jeng?" tanya Pitria.
"Mbah Ros teko. Orang e bawa trangia." Wajah semua orang terlihat sumringah.
Puncak bayangan adalah tempat dimana kalian bisa ngecamp sambil makan atau sekedar beristirahat sebelum lanjut ke puncak. Aku nggak pernah tahu kenapa bisa disebut puncak bayangan. Tapi dipikir-pikir mungkin puncak yang bentuknya agak lancip membentuk bayangan di lahan datar itu jika terkena cahaya. Mungkin loh ya.
Sampai kira-kira jam sepuluh malam lebih. Rencana awal sih jam 7 atau 8 udah ngecamp dan makan. Tapi apa daya? Maksud hati memeluk gunung apa daya cinta digantung (lho?). Padahal pengen lihat sunset. Pengen lebih lama. Terus yang nebengin aku (baca: mas Dwi) katanya pengen pulang pagi jadi dia berangkat sama kita (anak kecil ingusan). Ah, jadi nggak enak. Tapi pasang muka tidak tahu malu saja. Hahahahahah.
Rasanya udah lama sekali nggak kesini. Terakhir ke sini waktu hari bumi tahun lalu. Sekarang masih sama saja sih. Apanya yang mau berubah? Jenis rumputnya? Paling juga komposisi orang yang beda.
Bulan ini April, seharusnya angin muson timur udah sampai di bagian barat Indonesia. Tapi entah kenapa Hujan dan badai masih saja betah di sini. (Harus disyukuri).
Karena Kak Ros datang telat. Kami nggak bikin apa-apa malam itu kecuali bekal dari Pitria dan Dini. Makannya rame-rame . Wah, rasanya kangen sekali. Nanti setelah lulus apa masih bisa ya rame-rame sama kalian lagi? pokoknya harus bisa ya. :D
-------
Aku nggak bisa tidur. Di tenda, nggak bisa nafas. Di luar dinginnya minta ampun Jam segitu orang masih ada yang begejekan nggak jelas. aku yang dengerin lak yo ikut ketawa sendiri. dobel nggak bisa tidur . Aku tidur kira-kira cuma setengah jam. Arrghhh.
Paginya beberapa orang ke puncak yang sebenarnya. Aku di sini saja jadi tukang masak. Ramen instan dan selembar nori. Hm, waktunya beraksi. Karena nggak bawa makanan lain selain yang aku sebutin jadi hari itu menunya kurang sehat. Mie instan sama ramen. -_-
Kok lama ya? Apa mereka ngesot? kan aku kesepian . Soalnya yang disini tinggal aku perempuannya. dibully lagi sama cowok-cowok gila itu. Yang katanya aku anak JIS lah, yang disuruh nikah lah. Yang didoain jelek-jelek lah. Ah dasar mereka. Oh iya, aku inget kemarin mas Dwi bilang dia mau kerja jadi cuma bisa sampe jam 9 pagi. Tapi sekarang udah jam 9.15. Aku sekali lagi merasa bersalah (hahahahaha *plak).
Untunglah orangnya baik hati. :D jadi dia jawab "Aku Rapopo" wkwkwkwkwk
Akhirnya mereka pulang. Aku sih udah kemas-kemas. Jadi tinggal nyangklong tas aja sambil nunggu mereka makan. entah kenapa, ada firasat buruk. Ketika lagi duduk-duduk di batu besar. Aku kan mau turun. Nggak tahu kenapa keseimbanganku goyang. akhirnya kakiku kesandung. Untungnya nggak apa-apa. Tapi pas jalan balik ke anak-anak. Jempol saya yang cuantek kegores sendal. yaps, kegores sendal. Dan itu rasanya perih looh. Nggak ada yang bawa hansaplas lagi.
Mbak Rara adalah malaikat hari itu. Dia memberi hansaplas untuk membalut luka. haaa... Lega. Makasih mbak :*
Pulang adalah hal yang paling bikin frustasi. Gimana nggak, jalannya nurun banget dan terlalu kasaar (baca: licin). Setengah jam berjelan turun. Aku agak melambatkan iramaku karena nggak tega ninggalin Pitria di belakang. padahal rasanya tambah sakit kalau pelan-pelan. Nah, pas duduk buat benerin tali sepatu. There's something so wrong. Sepatu ane solnya hampir ilang. Dia udah kiwir-kiwir. Isttilahnya udah di ujung tanduk. gila, aku harus gimana? Sandal juga ketinggalan. Cerdas banget sih.
CobaanMu begitu berat ya Allah. Kudu tak tangisi.
"Lapo Jeng?"
"Sepatuku, mas. Jebol. Aku gak duwe sandal."
"Hahahahahaha." dasar, orang kesusahan diketawain. Sialan kalian..
Hampir sampai bawah ini sepatu udah nggak bisa selamat. Semuanya udah pada sampe di bawah. Aku masih terseok-seok sambil nyincing sepatu yang sebelah. Malu banget dilihatin orang. Dikira gila kali ya?
Udah gitu apa muka gue ini melas sekali ya. Sama bapak tani yang lagi meladang aku dikasih pisang. huuu.. Saya terharu tapi ya agak gimana gitu. Beberapa orang yang lewat aku tanya lihat Pitria apa ndak. Dan jawabannya selalu "masih istirahat/ nggak liat tuh" aarrrghh.. mana tuh anak?
Lucunya waktu mau sampe ada orang jualan es tebu. Wow, ini gunugng udah jadi lahan bisnis ternyata. Nggak menghilangkan kemungkinan, sepuluh tahun lagi ada villa di puncak :O
Aku memutuskan tempat peristirahatan terakhir sepatu naasku ada di tumpukan sampah dekat pos. Bye sepatu. Baru sekali diajak naik udah mati kamu. Padahal kamu satu-satunya sepatu yang nyisa. kecuali sepatu sekolah sih.
Pitria udah sampai. Yess.., Aku bisa ganti. rasanya kok badan ini kayak digigit nyamuk. merah semua. Pas waktu makan di warung sebelum pulang padahal aku udah nyiapin perut buat makan tapi. Saking capeknya lihat makanan udah nggak betah. Mau pulang aja. Tidur.
Sodara, karena cuma pake suwal dan kaos oblong saja tanpa alas kaki jadi aku pulangnya diejek mau dibuang di jembatan lah. Mau dijual buat ngemis lah. Apalah. Yang wong mbambung lah. Ah.. Aku dibully lagi.. Tapi.. Tapi.. Tapi....
i'm Happy.. :D
Thanks a lot for mas Dwi yang udah kita repotin. *bungkuk Om Hori dan Kak Ros yang udah nemenin kita. :D
Hounto ni arigatou gozaimasu ta !!!! (Terima kasih banyak!)
0 comments:
Post a Comment